Tuesday 16 February 2016

Makalah Fiqih: Munakahat



I.       PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Manusia adalah makhluk yang paling utama yang diciptakan oleh Allah SWT di muka bumi ini untuk memakmurkan, memelihara, mengelolah, memanfaatkan dan menyelenggarakan kehidupan di muka bumi ini dalam rangka pengapdian kepada Allah SWT itu tidak putus, maka manusia dibekali keinginan terhadap lawan jenis dan saling membutuhkan untuk menumpahkan rasa kasih sayang sekaligus sebagai realisasi penyaluran kebutuhan biologisnya.
Perkawinan merupakan jalan untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan sejahtera yang diridhoi dan diberkahi oleh Allah SWT. Perkawinan juga merupakan sunnah Rasulullah SAW, dimana sebagai umatnya kita harus mengikuti.
Agama Islam juga telah mengatur tentang tata cara pernikahan, di antaranya adalah masalah sighot akad nikah, wali nikah, dan mahar (maskawin). Hal ini mempunyai maksud agar nantinya tujuan dari pernikahan yaitu terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dapat tercapai tanpa suatu halangan apapun.
Kemudian, dalam makalah ini, kami akan mencoba memaparkan beberapa penjelasan-penjelasan yang berkaitan dengan fiqh munakahat.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana definisi, syarat, dan rukun nikah ?
2.      Bagaimana aturan mahar dan memilih pasangan menikah ?
3.      Bagaimana perihal talak dan masa ‘iddah ?
C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui definisi, syarat, dan rukun nikah.
2.      Untuk mengetahui aturan maharn dan memilih pasangan menikah.
3.      Untuk mengetahui perihal talak dan masa ‘iddah.

II.    PEMBAHASAN
A.    Definisi, syarat, dan rukun nikah
1.      Definisi Nikah
Nikah menurut etimologi adalah mengumpulan, saling memasukan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata nikah sendiri sering dipergunakan untuk arti ersetubuhan, juga untuk arti akad nikah.[1]Sedangkan menurut terminology, nikah adalah aqad yang berisi atas diperbolehkannya seorang lelaki bersenang-senang dan berhubungan suami istri, dan lainnya.[2]
Menurut hukum Islam, terdaat pula definisi, di antaranya    adalah :
Abu Yahya Zakaria Al-Anshary mendefinisikan :
“Nikah menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan  hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna denganya”[3]
Zakiah Daradjat mendefinisikan :
“Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau tazwij atau semakna dengan keduanya”[4]
Muhammad Abu Ishrah mendefinisikan :
Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita mengadakan tolong menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing”[5]
Dari beberapa definisi di atas, dapat kami simpulkan. Nikah adalah akad yang berisi diperbolehkannya hubungan suami istri dan juga saling memenuhi hak dan kewajiban terhadap pasanga dan keluarganya.
2.      Syarat dan Rukun Nikah
Akad nikah tidak sah kecuali jika terpenuhi rukun-rukun dansyarat-syarat sahnya. Adapun rukun-rukun dansyarat-syarat sahnya ada enam perkara, yaitu :[6]
1.      Ijab dan Qabul
Ijab Qabul merupakan rukun utama dan persyaratan paling penting dari rukun-rukun pernikahan lainnya. Tanpa ijab qabul, pernikahan batal atau tidak sah.
2.      Mempelai Pria
Dalam hal ini, ada beberapa syarat sahnya pernikahan berkaitan dengan calon pengantin pria, yaitu :[7]
a.       Beragama Islam
b.      Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki
c.       Orangnya diketahui dan tertentu.
d.      Calon laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri
e.       Calon laki-laki kenal pada calon istri serta sangat mengenal istrinya halal baginya
f.       Calon suami tidak terpaksa
g.      Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri
h.      Tidak sedang mempunyai istri empat
3.      Mempelai Wanita
Adapun syarat-syarat sahnya pernikahan dari mempelai wanitan adalah :
a.       Islam
b.      Tidak ada halangan syar’I : tidak bersuami, tidak sedang ‘iddah, tidak terpaksa, jelas orangnya
4.      Wali
Adapun syarat-syarat wali, yaitu :
a.       Laki-laki
b.      Baligh
c.       Sehat akal
d.      Tidak dipaksa
e.       Adil
Wali yang mendapat prioritas utama ialah ayah dari mempelai wanita. Jika tidak ada atau berhalangan, barulah kakeknya, kemudian saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak saudara laki-laki, barulah setelah itu kerabat-kerabat terdekat yang lain. Pernikahan seorang wanita tidak sah kecuali jika dinikahkan oleh waki aqrab (dekat). Jika tidak ada wali aqrab, maka dinikahkan oleh yang dikuasakan (wali hakim/qadhi).
5.      Dua Orang Saksi
Adapun syarat-syarat sah saksi, ialah :
a.       Islam
b.      Laki-laki
c.       Baligh
d.      Waras akalnya
e.       Adil
f.       Dapat mendengar dan melihat
g.      Bebas, tidak dipaksa
h.      Memahami Bahasa yang dipergunakan untuk ijab qabul
6.      Mahar/ Mas Kawin
Mahar atau mas kawin, adalah pemberian seorang suami kepada istrinya sebelum, sesudah, atau pada waktu berlangsungnya akad, sebagai pemberian wajib yang tidak dapat diganti dengan yang lainnya.
B.     Aturan Mahar, dan memilih pasangan
1.      Mahar
Mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara terminology, mahar ialah “pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya”[8]. Atau, “suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar dsb)”.[9]
Imam Syafi’I mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.       Harta/bendanya berharga
b.      Barangnya suci dan bias diambil manfaat
c.       Barangnya bukan barang ghasab
d.      Bukan barang yang tidak jelas keadaannya.[10]
Mengenai besarnya mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar tidak ada batas tertinggi. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang batas terendahnya.
Imam Syafi’I, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadikan harga bagi sesuatu lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.
Sebagian fuqaha lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bias dengan barangyang sebanding berate mas dan perak tersebut.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat lain ada mengatakan lima dirham, da nada lagi yang mengatakan empat dirham.
Pelaksanaan membayar mahar bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan atau disesuaikan dengan keadaan dan adat masyarakat, atau kebiasaan yang berlaku. Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan secara kontan atau hutang. Namun, disunahkan membayar kontan sebagian.
2.      Memilih Calon Istri/Suami
Dalam memilih calon suami/istri sebagai pasangan menikah, seperti yang sudah dijelaskan dalam syarat-syarat nikah di atas. Yang paling utama adalahcalon suami/istri harus seagama yaitu beragama Islam, karena dalam Islam haram hukumnya menikahi wanita yang bukan beragama Islam sebelum dia menjadi mualaf. Selanjutnya, suami/istri tidak dalam paksaan untuk menikah, maksudnya pernikahan tersebut berlangsung bukan karena paksaan dari pihak suami/istri atau dari pihak manapun.
Bagi seorang wanita yang hendak memilih calon pendamping, ada satu kriteria yang penting untuk diperhatikan. Yaitu calon suami memiliki kemampuan untuk memberi nafkah. Karena memberi nafkah merupakan kewajiban seorang suami. Islam telah menjadikan sikap menyia-nyiakan hak istri, anak-anak serta kedua orang tua dalam nafkah termasuk dalam kategori dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini shahih).
Sedangkan bagi pria yang memilih calon pendamping, ada beberapa kriteria yang diperhatikan, yaitu :
a.      Bersedia taat kepada suami
Sudah sepatutnya seorang pemimpin untuk ditaati. Ketika ketaatan ditinggalkan maka hancurlah ‘organisasi’ rumah tangga yang dijalankan. Oleh karena itulah, Allah dan Rasul-Nya dalam banyak dalil memerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya, kecuali dalam perkara yang diharamkan. Meninggalkan ketaatan kepada suami merupakan dosa besar, sebaliknya ketaatan kepadanya diganjar dengan pahala yang sangat besar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.” (HR. Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Al Albani)
b.      Menjaga auratnya dan tidak memamerkan kecantikannya kecuali kepada suaminya
Berbusana muslimah yang benar dan syar’i adalah kewajiban setiap muslimah. Seorang muslimah yang shalihah tentunya tidak akan melanggar ketentuan ini.
c.       Gadis lebih diutamakan dari janda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar menikahi wanita yang masih gadis. Karena secara umum wanita yang masih gadis memiliki kelebihan dalam hal kemesraan dan dalam hal pemenuhan kebutuhan biologis. Sehingga sejalan dengan salah satu tujuan menikah, yaitu menjaga dari penyaluran syahawat kepada yang haram. Wanita yang masih gadis juga biasanya lebih nrimo jika sang suami berpenghasilan sedikit. Hal ini semua dapat menambah kebahagiaan dalam pernikahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Menikahlah dengan gadis, sebab mulut mereka lebih jernih, rahimnya lebih cepat hamil, dan lebih rela pada pemberian yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Al Albani)
d.      Nasab-nya baik
Dianjurkan kepada seseorang pria yang hendak meminang seorang wanita untuk mencari tahu tentang nasab (silsilah keturunan)-nya.
§  Alasan pertama, keluarga memiliki peran besar dalam mempengaruhi ilmu, akhlak dan keimanan seseorang. Seorang wanita yang tumbuh dalam keluarga yang baik lagi Islami biasanya menjadi seorang wanita yang shalihah.
§  Alasan kedua, di masyarakat kita yang masih awam terdapat permasalahan pelik berkaitan dengan status anak zina. Mereka menganggap bahwa jika dua orang berzina, cukup dengan menikahkan keduanya maka selesailah permasalahan. Padahal tidak demikian. Karena dalam ketentuan Islam, anak yang dilahirkan dari hasil zina tidak di-nasab-kan kepada si lelaki pezina, namun di-nasab-kan kepada ibunya.[11]
C.     Perihal talak dan masa ‘iddah
1.      Talak
Talak diambil dari kata “ithlaq” yang menurut Bahasa artinya melepaskan atau meninggalkan. Menurut istilah syara’, talak yaitu Melepaskan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri
Al-Jaziry mendefinisikan :[12]
“Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu”.
Jadi, talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam hal talak ba’in, sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialahberkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadihak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu,dan dari satu mejadi hilang talak itu,yaitu terjadi dalam talak raj’i.
Adapun hukum talak yang dijelaska di dalam al-Qur’an secara tegas,
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kalian mengambil kembali dari sesuatu yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggrnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (al-Baqarah:229).
Para ulama sendri sepakat membolehkan talak.karena, bisa saja sebuah rumah tangga mengalami keretakan hubungan yang mengakibatkan runyamnya keadaan sehingga pernikahan mereka berada dalam keadaan kritis, terancam perpecahan, serta pertengkaran yang tidak membawa keuntungan sama sekali. Dan pada saat itu, dituntut adanya jalan untuk menghindari dan menghilangkan berbagai hal negative tersebut dengan cara talak.
Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak itu, maka talak dibagi menjadi dua macam,yaitu :
A.    Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan Sunnah. Dikatakan talak sunni jika memenuhi empat syarat :
1.      Istri yang ditalak sudah pernah digauli
2.      Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak (dalam keadaan suci dari haid)
3.      Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik di permulaan, pertengahan maupun di akhir suci, kendati beberapa saat lalu dating haid.
4.      Suami tidak pernah menggauli istri selama masasuci di mana talak itu dijatuhkan.[13]
B.     Talak Bid’I, yaitu talak yang berbedadengan yang disyariatkan, seakan-akan ia menceraikannya tiga kali dalam satu kata. Atau ia menceraikannya tiga kali berbeda-beda pada satu tempat. Para ulama sepakat bahwa talak bid’I haram, sedangkan orang yang melakukannya berdosa.[14]
Kemudian talak dilihat dari segi kembalinya dan bagiannya terbagi dalam dua hal, yaitu :
1.      Talak Raj’i, yaitu talak yang diperbolehkan bagi laki-laki untuk kembali pada istrinya, sebelum habis masa iddah dengan tanpa mahar baru dan akad baru
2.      Talak Ba’in, yaitu talak yang memutuskan, yaitu suami tidak memiliki hak untuk kembali pada peremuan yang diceraikannya dalam masa ‘iddah-nya. Talak ba’in ada dua macam :
·         Talak ba’in shugra (kecil), yaitu talak bagi laki-laki tidak boleh kembali pada perempuan yang diceraikannya kecuali dengan mahar dan akad baru.
·         Talak ba’in qubra (besar), yaitu talak yang tidak boleh bagi laki-laki setelahnya untuk kembali pada istrinya, kecuali jika setelah menikah dengan laki-laki lainnya dengan pernikahan yang benar untuk melaksanakan tujuan pernikahan.[15]
2.      Masa ‘Iddah
‘Iddah diambildari kata al-add dan al-ihsha, yaitu sesuatu yang dihitung oleh perempuan, ia menempatinya dalam beberapa hari dan masa. ‘iddah merupakan nama untuk masa bagi perempuan untuk menunggu dan mencegahnya untuk menikah setelah wafatnya suami atau berpisah dengannya.‘Iddah terhitung sejak adanya sebab-sebabnya, yaitu wafat dan talak.
‘Iddah telah dikenal pada masa jahiliah. Mereka tidak menginginkan dan meninggalkan ‘iddah. Ketika Islam dating ditetapkanlah ‘iddah karena di dalamnya mengandung kemaslahatan.
Wanita yang dicerai maupun ditinggal suaminya ini adakalanya tengah hamil dan adakalanya tidak. Oleh karena itu, maka iddah yang berlaku adalah sebgai berikut:
1.      Iddah wanita hamil adalah sampai dia melahirkan anak yang dikandungnya, baik cerai mati maupun cerai hidup. Sebagaimana firman Allah Allah
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampe mereka melahirkan kandungannya.” (ath-Thalaq:4).
2.      Al-Hadawiyah dan ulama lainnya menyebutkan, bahwa wanita yang hamil itu dapat mengakhiri iddahnya dengan dua batas waktu, baik dengan melahirkan kandungannya jika masa itu kurang dari empat bulan sepuluh hari, atau tetap dengan iddah yang normal, yaitu empat bulan sepuluh hari jika waktu melahirkan lebih dari waktu tersebut.
3.      Iddah wanita yang sedang menjalani istihadhah, apabila ia mempunyai hari-hari saat ia biasa menjalani masa haid, maka ia harus memperhatikan kebiasaan masa haid dan masa sucinya. Jika ia telah menjalani tiga kali masa haid, maka selesai sudah masa iddahnya.
4.      Iddah isteri yang sedang menjalani masa haid, lalu berhenti karena sebab yang diketahuinya maupun yang tidak. Jika berhentinya darah haid itu diketahui oleh adanya penyebab tertentu, seperti karena proses penyusuan atau sakit, maka ia harus menunggu kembalinya masa haid tersebut dan menjalani masa iddahnya sesuai dengan masa haidnya sesuai dengan haidnya meskipun memerlukan waktu yang lebih lama. Sebaliknya, jika disebabkan oleh suatu yang tidak diketahui, maka ia harus menjalani iddahnya selama satu tahun. Yaitu, Sembilan bulan untuk menjalani masa hamilnya dan tiga bulan untuk menjalani masa iddahnya.
5.      Iddah wanita yang belum dicampuri oleh suaminya. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita-wanita yang beriman, kemudian kalian hendak menceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka menjalani masa iddahnya bagi kalian yang kalian minta untuk menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskan mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” (al-Ahzab:49)
Dalam ayat tersebut terdapat dalil yag menunjukkan bahwa seorang isteri yang belum dicampuri suaminya tidak mempunyai kewajiban menjalani iddahnya. Tetapi, jika suaminya meninggal dunia sebelum ia mencampuri istrinya, maka isteri yang diceraikannya itu harus menjalani iddah sebagaimana jika suaminya telah mencampurinya.
6.      Iddah wanita yang telah dicampuri. Jika ia belum pernah mengalami haid sama sekali atau ia sudah sampai masa menoupose (tidak haid lagi), maka ia harus beridah selama tiga bulan.[16]
Hak wanita dalam Iddah
                  Pertama: Wanita yang taat dalam iddah raj’iyah berhak menerima tempat tinggal, pakaian dan segala keperluan hidupnya dari suami yang menalaknya, kecuali jika pihak isteri berbuat durhaka, maka ia tidak berhak apa pun. Rasulullah telah bersabda tentang masalah ini,
Dari Fatimah binti Qais, Rasulullah telah bersabda kepanya,
      “Wanita yang berhak mengambil nafkah dan rumah kediaman dari bekas suaminya itu apabila bekas suaminya itu berhak untuk rujuk kepadanya.” (HR.Ahmad dan Nasa’i).[17]
Kedua: wanita yang menjalani iddah karena cerai hidup. Jika ia dijatuhi talak ba’in yang tidak boleh dirujuk lagi oleh suaminya, misalnya yang dijatuhi talak tiga yang ber-li’an dan sepersusuan, maka ia boleh dilamar melalui sindirian seperti wanita yang beriddah karena di tinggal mati suami.
Dan jika dijatuhi talak yang masih diperbolehkan kembali kepada suaminya, seperti wanita yang melakukan khulu’ atau yang nikahnya di-fasakh (dibatalkan), maka suaminya boleh melamarnya secara sharih (terus terang).
Adapun tujuan dan hikmah diwajibkan Iddah itu adalah :
1.      Untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan atau isteri tersebut dari bibit yang ditinggalkan oleh mantan suaminya itu.  Supaya tidak terjadi bercampur aduknya keturunan (percampuran nasab), apabila mantan istri tersebut berkahwin dengan lelaki lain.
2.      Untuk memanjangkan masa rujuk, jika cerai itu talak raj’i.   Dengan adanya masa yang panjang dan lama dapat memberi peluang kepada suami untuk berfikir (introspeksi diri) dan mungkin menimbulkan penyesalan terhadap perbuatannya itu sehingga ia ingin kembali kepada istrinya atau akan rujuk kembali.
3.      Sebagai penghormatan kepada suami yang meninggal dunia.  Bagi seorang isteri yang kematian suami yang  dikasihinya sudah tentu akan meninggalkan kesan yang pahit di jiwanya,  dengan adanya iddah selama empat bulan sepuluh hari adalah merupakan suatu masa yang sesuai untuk ia bersedih, sebelum menjalani kehidupan yang baru di samping suami yang lain.[18]
4.      Untuk taadud, artinya semata untuk memenuhi kehendak dari Allah meskipun secara rasio kita mengira tidak perlu lagi.[19]
III.       PENUTUP
A.    Kesimpulan
Nikah adalah akad yang berisi diperbolehkannya hubungan suami istri dan juga saling memenuhi hak dan kewajiban terhadap pasanga dan keluarganya.
Syarat dan rukun nikah meliputi,
1.      ijab qabul,
2.      mempelai pria (Islam, jelas, tidak dipaksa, Orangnya diketahui dan tertentu, Calon laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri, Calon laki-laki kenal pada calon istri serta sangat mengenal istrinya halal baginya, Calon suami tidak terpaksa, Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri, Tidak sedang mempunyai istri empat),
3.      mempelai wanita (Islam, tidak ada halangan syar’I : tidak bersuami, tidak sedang ‘iddah, tidak terpaksa, jelas orangnya),
4.      wali,
5.      dua orang saksi,
6.      mahar/mas kawin.
mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
·         Harta/bendanya berharga
·         Barangnya suci dan bias diambil manfaat
·         Barangnya bukan barang ghasab
·         Bukan barang yang tidak jelas keadaannya
Bagi seorang wanita yang hendak memilih calon pendamping, ada satu kriteria yang penting untuk diperhatikan. Yaitu calon suami memiliki kemampuan untuk memberi nafkah. Karena memberi nafkah merupakan kewajiban seorang suami. Islam telah menjadikan sikap menyia-nyiakan hak istri, anak-anak serta kedua orang tua dalam nafkah termasuk dalam kategori dosa besar.
Sedangkan bagi pria yang memilih calon pendamping, ada beberapa kriteria yang diperhatikan, yaitu: bersedia taat kepada suami, menjaga auratnya dan hanya memperlihatkan kecantikannya kepada suaminya, gadis lebih utama daripada janda, nasab-nya baik.
Talak ialah, menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam hal talak ba’in, sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadihak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu,dan dari satu mejadi hilang talak itu,yaitu terjadi dalam talak raj’i.
. ‘Iddah merupakan nama untuk masa bagi perempuan untuk menunggu dan mencegahnya untuk menikah setelah wafatnya suami atau berpisah dengannya.‘Iddah terhitung sejak adanya sebab-sebabnya, yaitu wafat dan talak.









DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rahman Ghazaly, FIQH Munakahat, Jakarta: Kencana, 2012
Tim penyusun Al-Manar, Fikih Nikah, Bandung: Syaamil Cipta Media, 2007
Zakiah Dardjat, Ilmu Fiqh, Yogyakarta: Dana Bhakti Waqaf, 1995
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999
Ali Yusuf As-Subki, FIQH Keluarga: Pedoman Berkeluarga Dalam Islam, Jakarta: Amzah, 2010
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011
Miftah Faridl, 150 masalah Nikah dan Keluarga, Jakarta: Gema Insani,1999
. Abdul Aziz M. Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwes, Fiqih Munakahat (khitbah, nikah, dan talak), Jakarta : AMZAH, 2009
  Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2009








[1] Abd. Rahman Ghazaly, FIQH Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 7
[2] Tim penyusun Al-Manar, Fikih Nikah, (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2007), hal. 3
[3] Abd. Rahman Ghazaly, FIQH Munakahat., hal. 8
[4] Zakiah Dardjat, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Waqaf, 1995), hal. 37
[5] Zakiah Dardjat, Ilmu Fiqh., hal. 37
[6] Tim penyusun Al-Manar, Fikih Nikah., hal. 29
[7] Abd. Rahman Ghazaly, FIQH Munakahat., hal. 50-54
[8] Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hal. 105
[9] Abd. Rahman Ghazaly, FIQH Munakahat., hal. 84
[10] Abd. Rahman Ghazaly, FIQH Munakahat., hal. 87-88
[11] Yulian Purnama, Memilih Pasangan Idaman, http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/memilih-pasangan-idaman.html, didownload pada tanggal 8-Maret-2015, jam 6.38.
[12] Zakiah Dardjat, Ilmu Fiqh., hal. 172.
[13] Abd. Rahman Ghazaly, FIQH Munakahat., hal. 193
[14] Ali Yusuf As-Subki, FIQH Keluarga: Pedoman Berkeluarga Dalam Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 336
[15] Ali Yusuf As-Subki, FIQH Keluarga: Pedoman Berkeluarga Dalam Islam., hal. 336-337.
[16] Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011), hal. 408-411.
[17] Miftah Faridl, 150 masalah Nikah dan Keluarga, (Jakarta: Gema Insani,1999) hal.407-419
[18]. Abdul Aziz M. Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwes, Fiqih Munakahat (khitbah, nikah, dan talak), (Jakarta : AMZAH, 2009), hal. 320.
[19] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 305.
 

No comments:

Post a Comment