I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manusia
adalah makhluk yang paling utama yang diciptakan oleh Allah SWT di muka bumi
ini untuk memakmurkan, memelihara, mengelolah, memanfaatkan dan
menyelenggarakan kehidupan di muka bumi ini dalam rangka pengapdian kepada
Allah SWT itu tidak putus, maka manusia dibekali keinginan terhadap lawan jenis
dan saling membutuhkan untuk menumpahkan rasa kasih sayang sekaligus sebagai
realisasi penyaluran kebutuhan biologisnya.
Perkawinan merupakan jalan untuk membentuk suatu
keluarga yang bahagia dan sejahtera yang diridhoi dan diberkahi oleh Allah SWT.
Perkawinan juga merupakan sunnah Rasulullah SAW, dimana sebagai umatnya kita
harus mengikuti.
Agama Islam juga telah mengatur tentang tata cara
pernikahan, di antaranya adalah masalah sighot akad nikah, wali nikah, dan
mahar (maskawin). Hal ini mempunyai maksud agar nantinya tujuan dari pernikahan
yaitu terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dapat tercapai
tanpa suatu halangan apapun.
Kemudian, dalam makalah ini, kami akan mencoba
memaparkan beberapa penjelasan-penjelasan yang berkaitan dengan fiqh munakahat.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
definisi, syarat, dan rukun nikah ?
2. Bagaimana
aturan mahar dan memilih pasangan menikah ?
3. Bagaimana
perihal talak dan masa ‘iddah ?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui definisi, syarat, dan rukun nikah.
2. Untuk
mengetahui aturan maharn dan memilih pasangan menikah.
3. Untuk
mengetahui perihal talak dan masa ‘iddah.
II. PEMBAHASAN
A. Definisi,
syarat, dan rukun nikah
1.
Definisi
Nikah
Nikah
menurut etimologi adalah mengumpulan, saling memasukan, dan digunakan untuk
arti bersetubuh (wathi). Kata nikah
sendiri sering dipergunakan untuk arti ersetubuhan, juga untuk arti akad nikah.[1]Sedangkan
menurut terminology, nikah adalah aqad
yang berisi atas diperbolehkannya seorang lelaki bersenang-senang dan
berhubungan suami istri, dan lainnya.[2]
Menurut
hukum Islam, terdaat pula definisi, di antaranya adalah :
Abu Yahya Zakaria
Al-Anshary mendefinisikan :
“Nikah
menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum
kebolehan hubungan seksual dengan lafaz
nikah atau dengan kata-kata yang semakna denganya”[3]
Zakiah
Daradjat mendefinisikan :
“Akad
yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah
atau tazwij atau semakna dengan keduanya”[4]
Muhammad
Abu Ishrah mendefinisikan :
“Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan
mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita mengadakan
tolong menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban
bagi masing-masing”[5]
Dari beberapa definisi di atas, dapat
kami simpulkan. Nikah adalah akad yang berisi diperbolehkannya hubungan suami
istri dan juga saling memenuhi hak dan kewajiban terhadap pasanga dan
keluarganya.
2.
Syarat
dan Rukun Nikah
Akad nikah tidak sah kecuali jika
terpenuhi rukun-rukun dansyarat-syarat sahnya. Adapun rukun-rukun
dansyarat-syarat sahnya ada enam perkara, yaitu :[6]
1. Ijab
dan Qabul
Ijab Qabul merupakan
rukun utama dan persyaratan paling penting dari rukun-rukun pernikahan lainnya.
Tanpa ijab qabul, pernikahan batal atau tidak sah.
2. Mempelai
Pria
Dalam hal ini, ada
beberapa syarat sahnya pernikahan berkaitan dengan calon pengantin pria, yaitu
:[7]
a. Beragama
Islam
b. Terang
(jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki
c. Orangnya
diketahui dan tertentu.
d. Calon
laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri
e. Calon
laki-laki kenal pada calon istri serta sangat mengenal istrinya halal baginya
f. Calon
suami tidak terpaksa
g. Tidak
mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri
h. Tidak
sedang mempunyai istri empat
3. Mempelai
Wanita
Adapun syarat-syarat
sahnya pernikahan dari mempelai wanitan adalah :
a. Islam
b. Tidak
ada halangan syar’I : tidak bersuami, tidak sedang ‘iddah, tidak terpaksa,
jelas orangnya
4. Wali
Adapun syarat-syarat
wali, yaitu :
a. Laki-laki
b. Baligh
c. Sehat
akal
d. Tidak
dipaksa
e. Adil
Wali yang mendapat prioritas utama ialah
ayah dari mempelai wanita. Jika tidak ada atau berhalangan, barulah kakeknya,
kemudian saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak saudara
laki-laki, barulah setelah itu kerabat-kerabat terdekat yang lain. Pernikahan
seorang wanita tidak sah kecuali jika dinikahkan oleh waki aqrab (dekat). Jika tidak ada wali aqrab, maka dinikahkan oleh yang dikuasakan (wali hakim/qadhi).
5. Dua
Orang Saksi
Adapun syarat-syarat
sah saksi, ialah :
a. Islam
b. Laki-laki
c. Baligh
d. Waras
akalnya
e. Adil
f. Dapat
mendengar dan melihat
g. Bebas,
tidak dipaksa
h. Memahami
Bahasa yang dipergunakan untuk ijab qabul
6. Mahar/
Mas Kawin
Mahar
atau mas kawin, adalah pemberian seorang suami kepada istrinya sebelum,
sesudah, atau pada waktu berlangsungnya akad, sebagai pemberian wajib yang
tidak dapat diganti dengan yang lainnya.
B. Aturan
Mahar, dan memilih pasangan
1.
Mahar
Mahar
secara etimologi artinya maskawin. Secara terminology, mahar ialah “pemberian
wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami
untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya”[8].
Atau, “suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya,
baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar dsb)”.[9]
Imam
Syafi’I mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang
laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.
Mahar
yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
:
a. Harta/bendanya
berharga
b. Barangnya
suci dan bias diambil manfaat
c. Barangnya
bukan barang ghasab
d. Bukan
barang yang tidak jelas keadaannya.[10]
Mengenai besarnya mahar, para fuqaha
telah sepakat bahwa bagi mahar tidak ada batas tertinggi. Kemudian mereka
berselisih pendapat tentang batas terendahnya.
Imam Syafi’I, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur,
dan fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada
batas terendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadikan harga bagi sesuatu lain
dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari
kalangan pengikut Imam Malik.
Sebagian fuqaha lain berpendapat bahwa
mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan
bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat
tiga dirham, atau bias dengan barangyang sebanding berate mas dan perak
tersebut.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa
paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat lain ada mengatakan
lima dirham, da nada lagi yang mengatakan empat dirham.
Pelaksanaan membayar mahar bisa
dilakukan sesuai dengan kemampuan atau disesuaikan dengan keadaan dan adat
masyarakat, atau kebiasaan yang berlaku. Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan
secara kontan atau hutang. Namun, disunahkan membayar kontan sebagian.
2.
Memilih
Calon Istri/Suami
Dalam memilih calon suami/istri sebagai
pasangan menikah, seperti yang sudah dijelaskan dalam syarat-syarat nikah di
atas. Yang paling utama adalahcalon suami/istri harus seagama yaitu beragama
Islam, karena dalam Islam haram hukumnya menikahi wanita yang bukan beragama Islam
sebelum dia menjadi mualaf. Selanjutnya, suami/istri tidak dalam paksaan untuk
menikah, maksudnya pernikahan tersebut berlangsung bukan karena paksaan dari
pihak suami/istri atau dari pihak manapun.
Bagi seorang wanita yang hendak memilih
calon pendamping, ada satu kriteria yang penting untuk diperhatikan. Yaitu
calon suami memiliki kemampuan untuk memberi nafkah. Karena memberi nafkah
merupakan kewajiban seorang suami. Islam telah menjadikan sikap menyia-nyiakan
hak istri, anak-anak serta kedua orang tua dalam nafkah termasuk dalam kategori
dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Cukuplah
seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini shahih).
Sedangkan bagi pria yang memilih calon
pendamping, ada beberapa kriteria yang diperhatikan, yaitu :
a.
Bersedia
taat kepada suami
Sudah sepatutnya seorang pemimpin untuk ditaati. Ketika ketaatan
ditinggalkan maka hancurlah ‘organisasi’ rumah tangga yang dijalankan. Oleh
karena itulah, Allah dan Rasul-Nya dalam banyak dalil memerintahkan seorang
istri untuk taat kepada suaminya, kecuali dalam perkara yang diharamkan.
Meninggalkan ketaatan kepada suami merupakan dosa besar, sebaliknya ketaatan
kepadanya diganjar dengan pahala yang sangat besar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan
puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan
masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.” (HR. Ibnu Hibban.
Dishahihkan oleh Al Albani)
b.
Menjaga
auratnya dan tidak memamerkan kecantikannya kecuali kepada suaminya
Berbusana muslimah yang benar dan syar’i
adalah kewajiban setiap muslimah. Seorang muslimah yang shalihah tentunya tidak
akan melanggar ketentuan ini.
c.
Gadis
lebih diutamakan dari janda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menganjurkan agar menikahi wanita yang masih gadis. Karena secara umum wanita
yang masih gadis memiliki kelebihan dalam hal kemesraan dan dalam hal pemenuhan
kebutuhan biologis. Sehingga sejalan dengan salah satu tujuan menikah, yaitu
menjaga dari penyaluran syahawat kepada yang haram. Wanita yang masih gadis
juga biasanya lebih nrimo jika sang suami berpenghasilan sedikit. Hal ini semua
dapat menambah kebahagiaan dalam pernikahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Menikahlah dengan gadis, sebab mulut
mereka lebih jernih, rahimnya lebih cepat hamil, dan lebih rela pada pemberian
yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Al Albani)
d.
Nasab-nya
baik
Dianjurkan
kepada seseorang pria yang hendak meminang seorang wanita untuk mencari tahu
tentang nasab (silsilah keturunan)-nya.
§ Alasan
pertama, keluarga memiliki peran besar dalam mempengaruhi ilmu, akhlak dan
keimanan seseorang. Seorang wanita yang tumbuh dalam keluarga yang baik lagi
Islami biasanya menjadi seorang wanita yang shalihah.
§ Alasan
kedua, di masyarakat kita yang masih awam terdapat permasalahan pelik berkaitan
dengan status anak zina. Mereka menganggap bahwa jika dua orang berzina, cukup
dengan menikahkan keduanya maka selesailah permasalahan. Padahal tidak
demikian. Karena dalam ketentuan Islam, anak yang dilahirkan dari hasil zina
tidak di-nasab-kan kepada si lelaki pezina, namun di-nasab-kan kepada ibunya.[11]
C. Perihal
talak dan masa ‘iddah
1.
Talak
Talak
diambil dari kata “ithlaq” yang menurut Bahasa artinya melepaskan atau
meninggalkan. Menurut istilah syara’, talak yaitu Melepaskan perkawinan dan
mengakhiri hubungan suami istri
Al-Jaziry
mendefinisikan :[12]
“Talak
ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya
dengan menggunakan kata-kata tertentu”.
Jadi,
talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya
ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi
dalam hal talak ba’in, sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan
ialahberkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah
talak yang menjadihak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu,dan
dari satu mejadi hilang talak itu,yaitu terjadi dalam talak raj’i.
Adapun
hukum talak yang dijelaska di dalam al-Qur’an secara tegas,
“Talak
(yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kalian
mengambil kembali dari sesuatu yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali
kalau keduanya khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian
khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian
melanggrnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah
orang-orang yang zhalim.” (al-Baqarah:229).
Para
ulama sendri sepakat membolehkan talak.karena, bisa saja sebuah rumah tangga
mengalami keretakan hubungan yang mengakibatkan runyamnya keadaan sehingga
pernikahan mereka berada dalam keadaan kritis, terancam perpecahan, serta
pertengkaran yang tidak membawa keuntungan sama sekali. Dan pada saat itu,
dituntut adanya jalan untuk menghindari dan menghilangkan berbagai hal negative
tersebut dengan cara talak.
Ditinjau
dari segi waktu dijatuhkannya talak itu, maka talak dibagi menjadi dua
macam,yaitu :
A. Talak
Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan Sunnah. Dikatakan
talak sunni jika memenuhi empat syarat :
1. Istri
yang ditalak sudah pernah digauli
2. Istri
dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak (dalam keadaan suci dari
haid)
3. Talak
itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik di permulaan, pertengahan
maupun di akhir suci, kendati beberapa saat lalu dating haid.
4. Suami
tidak pernah menggauli istri selama masasuci di mana talak itu dijatuhkan.[13]
B. Talak
Bid’I, yaitu talak yang berbedadengan yang disyariatkan, seakan-akan ia
menceraikannya tiga kali dalam satu kata. Atau ia menceraikannya tiga kali
berbeda-beda pada satu tempat. Para ulama sepakat bahwa talak bid’I haram,
sedangkan orang yang melakukannya berdosa.[14]
Kemudian talak dilihat dari segi
kembalinya dan bagiannya terbagi dalam dua hal, yaitu :
1. Talak
Raj’i, yaitu talak yang diperbolehkan bagi laki-laki untuk kembali pada
istrinya, sebelum habis masa iddah dengan tanpa mahar baru dan akad baru
2. Talak
Ba’in, yaitu talak yang memutuskan, yaitu suami tidak memiliki hak untuk
kembali pada peremuan yang diceraikannya dalam masa ‘iddah-nya. Talak ba’in ada
dua macam :
·
Talak ba’in shugra (kecil), yaitu talak
bagi laki-laki tidak boleh kembali pada perempuan yang diceraikannya kecuali
dengan mahar dan akad baru.
·
Talak ba’in qubra (besar), yaitu talak
yang tidak boleh bagi laki-laki setelahnya untuk kembali pada istrinya, kecuali
jika setelah menikah dengan laki-laki lainnya dengan pernikahan yang benar
untuk melaksanakan tujuan pernikahan.[15]
2.
Masa
‘Iddah
‘Iddah
diambildari kata al-add dan al-ihsha, yaitu sesuatu yang dihitung
oleh perempuan, ia menempatinya dalam beberapa hari dan masa. ‘iddah merupakan
nama untuk masa bagi perempuan untuk menunggu dan mencegahnya untuk menikah
setelah wafatnya suami atau berpisah dengannya.‘Iddah terhitung sejak adanya
sebab-sebabnya, yaitu wafat dan talak.
‘Iddah telah
dikenal pada masa jahiliah. Mereka tidak menginginkan dan meninggalkan ‘iddah.
Ketika Islam dating ditetapkanlah ‘iddah karena di dalamnya mengandung
kemaslahatan.
Wanita yang dicerai maupun ditinggal
suaminya ini adakalanya tengah hamil dan adakalanya tidak. Oleh karena itu,
maka iddah yang berlaku adalah sebgai berikut:
1.
Iddah wanita
hamil adalah sampai dia melahirkan anak yang dikandungnya, baik cerai mati
maupun cerai hidup. Sebagaimana firman Allah Allah
“Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampe mereka
melahirkan kandungannya.” (ath-Thalaq:4).
2.
Al-Hadawiyah
dan ulama lainnya menyebutkan, bahwa wanita yang hamil itu dapat mengakhiri
iddahnya dengan dua batas waktu, baik dengan melahirkan kandungannya jika masa itu
kurang dari empat bulan sepuluh hari, atau tetap dengan iddah yang normal,
yaitu empat bulan sepuluh hari jika waktu melahirkan lebih dari waktu tersebut.
3.
Iddah wanita
yang sedang menjalani istihadhah, apabila ia mempunyai hari-hari saat ia biasa
menjalani masa haid, maka ia harus memperhatikan kebiasaan masa haid dan masa
sucinya. Jika ia telah menjalani tiga kali masa haid, maka selesai sudah masa
iddahnya.
4.
Iddah isteri
yang sedang menjalani masa haid, lalu berhenti karena sebab yang diketahuinya
maupun yang tidak. Jika berhentinya darah haid itu diketahui oleh adanya
penyebab tertentu, seperti karena proses penyusuan atau sakit, maka ia harus
menunggu kembalinya masa haid tersebut dan menjalani masa iddahnya sesuai
dengan masa haidnya sesuai dengan haidnya meskipun memerlukan waktu yang lebih
lama. Sebaliknya, jika disebabkan oleh suatu yang tidak diketahui, maka ia
harus menjalani iddahnya selama satu tahun. Yaitu, Sembilan bulan untuk
menjalani masa hamilnya dan tiga bulan untuk menjalani masa iddahnya.
5.
Iddah wanita
yang belum dicampuri oleh suaminya. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah
berfirman:
“Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita-wanita yang beriman,
kemudian kalian hendak menceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya, maka
sekali-kali tidak wajib atas mereka menjalani masa iddahnya bagi kalian yang
kalian minta untuk menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskan
mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” (al-Ahzab:49)
Dalam ayat tersebut terdapat dalil
yag menunjukkan bahwa seorang isteri yang belum dicampuri suaminya tidak
mempunyai kewajiban menjalani iddahnya. Tetapi, jika suaminya meninggal dunia
sebelum ia mencampuri istrinya, maka isteri yang diceraikannya itu harus
menjalani iddah sebagaimana jika suaminya telah mencampurinya.
6.
Iddah wanita
yang telah dicampuri. Jika ia belum pernah mengalami haid sama sekali atau ia
sudah sampai masa menoupose (tidak haid lagi), maka ia harus beridah selama
tiga bulan.[16]
Hak
wanita dalam Iddah
Pertama:
Wanita yang taat dalam iddah raj’iyah berhak menerima tempat tinggal, pakaian
dan segala keperluan hidupnya dari suami yang menalaknya, kecuali jika pihak
isteri berbuat durhaka, maka ia tidak berhak apa pun. Rasulullah telah bersabda
tentang masalah ini,
Dari Fatimah binti Qais, Rasulullah
telah bersabda kepanya,
“Wanita yang berhak mengambil nafkah dan
rumah kediaman dari bekas suaminya itu apabila bekas suaminya itu berhak untuk
rujuk kepadanya.” (HR.Ahmad dan Nasa’i).[17]
Kedua:
wanita yang menjalani iddah karena cerai hidup. Jika ia dijatuhi talak ba’in
yang tidak boleh dirujuk lagi oleh suaminya, misalnya yang dijatuhi talak tiga
yang ber-li’an dan sepersusuan, maka ia boleh dilamar melalui sindirian seperti
wanita yang beriddah karena di tinggal mati suami.
Dan
jika dijatuhi talak yang masih diperbolehkan kembali kepada suaminya, seperti
wanita yang melakukan khulu’ atau yang nikahnya di-fasakh (dibatalkan), maka
suaminya boleh melamarnya secara sharih (terus terang).
Adapun
tujuan dan hikmah diwajibkan Iddah itu adalah :
1.
Untuk
mengetahui bersihnya rahim perempuan atau isteri tersebut dari bibit yang
ditinggalkan oleh mantan suaminya itu.
Supaya tidak terjadi bercampur aduknya keturunan (percampuran nasab),
apabila mantan istri tersebut berkahwin dengan lelaki lain.
2.
Untuk
memanjangkan masa rujuk, jika cerai itu talak raj’i. Dengan adanya masa yang panjang dan lama
dapat memberi peluang kepada suami untuk berfikir (introspeksi diri) dan
mungkin menimbulkan penyesalan terhadap perbuatannya itu sehingga ia ingin
kembali kepada istrinya atau akan rujuk kembali.
3.
Sebagai
penghormatan kepada suami yang meninggal dunia.
Bagi seorang isteri yang kematian suami yang dikasihinya sudah tentu akan meninggalkan
kesan yang pahit di jiwanya, dengan
adanya iddah selama empat bulan sepuluh hari adalah merupakan suatu masa yang
sesuai untuk ia bersedih, sebelum menjalani kehidupan yang baru di samping
suami yang lain.[18]
4.
Untuk taadud,
artinya semata untuk memenuhi kehendak dari Allah meskipun secara rasio kita
mengira tidak perlu lagi.[19]
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nikah
adalah akad yang berisi diperbolehkannya hubungan suami istri dan juga saling
memenuhi hak dan kewajiban terhadap pasanga dan keluarganya.
Syarat
dan rukun nikah meliputi,
1.
ijab qabul,
2.
mempelai pria
(Islam, jelas, tidak dipaksa, Orangnya diketahui dan tertentu, Calon
laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri, Calon laki-laki kenal pada
calon istri serta sangat mengenal istrinya halal baginya, Calon suami tidak
terpaksa, Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri, Tidak
sedang mempunyai istri empat),
3.
mempelai wanita (Islam, tidak ada
halangan syar’I : tidak bersuami, tidak sedang ‘iddah, tidak terpaksa, jelas
orangnya),
4.
wali,
5.
dua orang saksi,
6.
mahar/mas kawin.
mahar adalah sesuatu yang wajib
diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh
anggota badannya.
Mahar
yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
:
·
Harta/bendanya berharga
·
Barangnya suci dan bias diambil manfaat
·
Barangnya bukan barang ghasab
·
Bukan barang yang tidak jelas keadaannya
Bagi seorang wanita yang hendak memilih
calon pendamping, ada satu kriteria yang penting untuk diperhatikan. Yaitu
calon suami memiliki kemampuan untuk memberi nafkah. Karena memberi nafkah
merupakan kewajiban seorang suami. Islam telah menjadikan sikap menyia-nyiakan
hak istri, anak-anak serta kedua orang tua dalam nafkah termasuk dalam kategori
dosa besar.
Sedangkan bagi pria yang memilih calon
pendamping, ada beberapa kriteria yang diperhatikan, yaitu: bersedia taat
kepada suami, menjaga auratnya dan hanya memperlihatkan kecantikannya kepada
suaminya, gadis lebih utama daripada janda, nasab-nya baik.
Talak ialah, menghilangkan ikatan
perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi
halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam hal talak ba’in, sedangkan arti
mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami
yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadihak suami dari tiga
menjadi dua, dari dua menjadi satu,dan dari satu mejadi hilang talak itu,yaitu
terjadi dalam talak raj’i.
. ‘Iddah merupakan nama untuk masa bagi
perempuan untuk menunggu dan mencegahnya untuk menikah setelah wafatnya suami
atau berpisah dengannya.‘Iddah terhitung sejak adanya sebab-sebabnya, yaitu
wafat dan talak.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rahman
Ghazaly, FIQH Munakahat, Jakarta: Kencana, 2012
Tim penyusun Al-Manar, Fikih Nikah, Bandung: Syaamil Cipta Media,
2007
Zakiah Dardjat,
Ilmu Fiqh, Yogyakarta: Dana Bhakti Waqaf, 1995
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat, Bandung: CV.
Pustaka Setia, 1999
Yulian Purnama, Memilih Pasangan Idaman, http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/memilih-pasangan-idaman.html
Ali Yusuf As-Subki, FIQH Keluarga: Pedoman Berkeluarga Dalam Islam,
Jakarta: Amzah, 2010
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2011
Miftah Faridl, 150 masalah Nikah dan Keluarga, Jakarta: Gema
Insani,1999
. Abdul Aziz M. Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwes, Fiqih
Munakahat (khitbah, nikah, dan talak), Jakarta : AMZAH, 2009
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan
Islam Di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2009
[1] Abd. Rahman Ghazaly, FIQH Munakahat, (Jakarta: Kencana,
2012), hal. 7
[2] Tim penyusun Al-Manar, Fikih Nikah, (Bandung: Syaamil Cipta
Media, 2007), hal. 3
[3] Abd. Rahman Ghazaly, FIQH Munakahat., hal. 8
[4] Zakiah Dardjat, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti
Waqaf, 1995), hal. 37
[5] Zakiah Dardjat, Ilmu Fiqh., hal. 37
[6] Tim penyusun Al-Manar, Fikih Nikah., hal. 29
[7] Abd. Rahman Ghazaly, FIQH Munakahat., hal. 50-54
[8] Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat, (Bandung: CV. Pustaka
Setia, 1999), hal. 105
[9] Abd. Rahman Ghazaly, FIQH Munakahat., hal. 84
[10] Abd. Rahman Ghazaly, FIQH Munakahat., hal. 87-88
[11] Yulian Purnama, Memilih Pasangan Idaman, http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/memilih-pasangan-idaman.html, didownload pada tanggal
8-Maret-2015, jam 6.38.
[12] Zakiah Dardjat, Ilmu Fiqh., hal. 172.
[13] Abd. Rahman Ghazaly, FIQH Munakahat., hal. 193
[14] Ali Yusuf As-Subki, FIQH Keluarga: Pedoman Berkeluarga Dalam
Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 336
[15] Ali Yusuf As-Subki, FIQH Keluarga: Pedoman Berkeluarga Dalam
Islam., hal. 336-337.
[16] Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2011), hal. 408-411.
[17] Miftah Faridl, 150 masalah Nikah dan Keluarga,
(Jakarta: Gema Insani,1999) hal.407-419
[18].
Abdul Aziz M. Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwes, Fiqih Munakahat (khitbah, nikah, dan talak), (Jakarta : AMZAH,
2009), hal. 320.
[19]
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam
Di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 305.
No comments:
Post a Comment